Tidak terasa bulan Ramadhan akan segera meninggalkan kita. Banyak sekali perbuatan amal saleh yang sudah dilakukan di bulan Ramadhan. Namun, apakah diri kita sudah siap untuk ditinggal oleh bulan yang penuh berkah ini? Tentu rasanya belum merasa puas dan cukup bagi kita untuk meninggalkan bulan Ramadhan. Maka dari itu, kita perlu muhasabah diri ibadah yang kita lakukan apakah sudah ada peningkatan atau tidak, apakah ibadah kita sudah lebih baik atau tidak, dan apakah ibadah kita sudah dilandaskan keimanan dan pengharapan Ridha Allah SWT atau tidak. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita hadirkan atas apa yang sudah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini.

                Sejatinya bulan Ramadhan adalah madrasah bagi umat Islam. Allah sudah menyiapkan bagi hamba-Nya sistem pendidikan yang begitu indah dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan hamba-Nya. Dimulai dari dengan berpuasa dengan tujuan untuk menahan diri kita dari lapar, haus, serta nafsu yang tidak baik atau nafsu mutma’innah. Kemudian, Allah memberikan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang beribadah dalam keadaan berpuasa seperti sholat berjamaah, sholat sunnah, bersedekah, maupun membaca Al-Qur’an. Kemudian diakhiri dengan menghidupkan qiyamul lail seperti sholat tarawih, sholat tahajjud, dan sholat witir. Begitu indah madrasah yang Allah ciptakan bagi orang yang bertemu dengan bulan suci Ramadhan.

                Lantas apakah kita sudah lolos, sudah layak, sudah berhasil, dan sudah sempurna di dalam madrasah yang Allah ciptakan ini? Menyempurnakan ibadah Ramadhan adalah bentuk keimanan seorang hamba. Maka Allah menjelaskan tentang puncaknya dalam beribadah di bulan Ramadhan pada akhir ayat yang menjelaskan tentang fikih berpuasa yaitu Surah Al-Baqarah ayat 185:

 . . . .وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”

                Pada ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa kita diperintahkan untuk mencukupkan atau menyempurnakan bilangan berpuasa kita. Maksudnya adalah menyempurnakan ibadah kepada Allah di bulan suci Ramadhan dengan cra berpuasa yang imaanan wahtisaban (penuh keimanan dan pengharapan Ridha Allah). Ibadah yang kita lakukan tidak lepas dari taufik dan hidayah dari Allah, tidak mungkin kita bisa beribadah, kecuali Allah menggerakan hati kita untuk menjalankan ibadah-ibadah tersebut.

                Taufik dan hidayah yang Allah berikan harus kita syukuri, perlu kita ekspresikan. Oleh karean itu, pada lanjutan ayat tersebut Allah memerintahkan mengagungkan Allah yaitu dengan mengucapkan takbir kepada Allah di hari Idul Fitri. Hari Idul Fitri adalah hari dimana kebahagaian dan kemenangan bagi orang muslim yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dengan imanan wahtisaban. Maka kebahagiaan itu akan sangat terasa menyentuh hati bagi seorang muslim saat melantunkan takbir dalam rangka mengagungkan asma Allah. Hal tersebut selaras dengan hadis Rasulullah yang ada pada kitab Syarh Sahih Muslim:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Artinya: “Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika ia berbuka, dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya.” (HR Muslim:1945)

                Hadis tersebut menjelaskan bagi orang yang berpuasa mendapatkan 2 kebahgian yaitu kebahagiaan ketika فِطْرِهِ yang artinya berbuka atau selesai ketika menjalankan ibadah berpuasa. Makna Fitri pada hadis tersebut kemudian dimaknai tidak hanya orang Ketika berbuka akan tetapi, Ketika setelah tuntas dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan serta bertemu dengan hari yang Fitri. Kebahagiaan tersebut kemudian dijelaskan oleh Allah pada ayat Al-Baqarah ayat 185 dengan takbir kepada Allah. Takbir yang dilantunkan di hari idul Fitri berbeda dengan lantunan takbir yang lainnya, seperti sholat dan dzikir. Itulah keistimewaan dan kebahagiaan yang pertama bagi orang yang berpuasa.

                Kebahgiaan kedua bagi orang yang berpuasa adalah kebahagiaan Ketika bertemu dengan Rabb-Nya. Kebahagiaan yang ini adalah kebahagiaan yang sejati Ketika bertemu dengan Allah. Karena Allah sangat memuliakan bulan Ramadhan sehingga kebahagiaan yang didapatkan orang yang berpuasa akan dirasakan Ketika bertemu Allah.

                Hari Idul Fitri adalah hari dimana seseorang telah kembali ke dalam fitrahnya atau kembali suci, setelah selama sebulan menjalankan ibadah yang dibungkus dalam sistem madrasah yang Allah ciptakan. Hari dimana sesorang me-refresh kembali hatinya untuk beriman kepada Allah. Karena sejatinya, pelatihan di bulan suci Ramadhan adalah pelatihan bagi umat muslim yang hanya beriman menjadi hamba yang bertaqwa, sehingga di hari yang Fitri umat muslim mengekspresikan kegembraannya.

                Tidak hanya berhenti di situ, keberhasilan sesorang dalam menggapai Fitri setelah menjalankan ibadah suci Ramadhan adalah di mana sesorang terus melanggengkan ibadah-ibadah yang dijalankan di bulan Ramadhan kemudian dijalankan di bulan-bulan setelahnya. Jadi, seseorang akan menikmati hasil jerih payah yang dilakukan di bulan Ramadhan, sehingga orang tersebut menjadi orang yang bertaqwa dan meningkat keimanannya.

Imam Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Raudhatul Muhibbin “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allah, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada Allah, yang kemudian pengetahuan itu mewariskan rasa malu, pengagungan, pemuliaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya. Itulah orang-orang yang mendpatkan keberhasilan dalam berpuasa dan menggapai Fitri yang hakiki. Jazakumullah khairan.

Penulis: Rifki Azka, S. Ag. [Alumni Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga & Guru PAI SD IDEA BARU Kalasan Yogyakarta]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *